Kata-Kata

Saturday, March 2, 2013


Nama: Johan Yoga Firmansyah
Tempat/tanggal lahir: Rembang 23September 1997
Jenis klamin: Laki-laki
Kebangsaan: IndonesiaAgama: Islam
Alamat: Kragan,Rembang
 Anak ke: 1
Hoby: Jalan jalan&kuliner
Situs web
E-mail: yogapraatama8665@yahoo.co.id
Twitter: cetar4
Faceook:Blaugrana Kr'Anyar

Sunday, February 24, 2013

Kata-kata

Thomas J. Watson
Jangan mencari kawan yang membuat Anda merasa nyaman, tetapi carilah kawan yang memaksa Anda terus berkembang.

Henry Ford
Bila Anda berpikir Anda bisa,maka Anda benar. Bila Anda berpikir Anda tidak bisa, Anda pun benar… karena itu ketika seseorang berpikir tidak bisa, maka sesungguhnya dia telah membuang kesempatan untuk menjadi bisa.

Alexander Graham Bell
Konsentrasikan pikiran Anda pada sesuatu yang Anda lakukan Karena sinar matahari juga tidak dapat membakar sebelum difokuskan.

Monday, February 4, 2013

HISTORY - Establishment of Indonesia and history in the World's

 Jakarta, LP - In ancient times, the islands of the country called by various names. In the records of the Chinese nation's homeland islands named Nan-hai (South Sea Islands). Various records of ancient India Dwipantara named islands (Overseas Land Islands), a name derived from the word .. Sanskrit Dwipa (island) and between (outside, opposite). Poet Valmiki Ramayana tells the search for Sita, Ravana kidnapped Rama's wife, to the Suwarnadwipa (Golden Island, which is now Sumatra) are located on the islands Dwipantara.


The Arabs call our homeland Jaza'ir al-Jawi (Javanese islands). To this day we are still pilgrims often called "Java" by the Arabs. Even though Indonesia outside Java. In Arabic also known Samathrah (Sumatra), Sholibis (Sulawesi), Sundah (Sunda), all of the island known as Jawi kulluh (all Java).

 The Europeans who first came assumes that Asia is only composed of Arab, Persia, India, and China. For them, the area stretching between Persia and China everything is "Indian". South Asian peninsula they call "Indian face" and mainland Southeast Asia called "Rear Indies". Meanwhile, the country acquired the name "Indian Archipelago" (Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel Indien) or "East Indies" (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Another name used is "Malay Archipelago" (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel Malais).

In the Dutch colonial era, the official name used is Nederlandsch-Indie (Dutch Indies), while the government of the Japanese occupation from 1942 to 1945 using the term To-Indo (East Indies). Eduard Douwes Dekker (1820-1887), known by the pseudonym Multatuli, once thought to mention the names of specific islands of our country, namely Insulinde, which means also "Indian Archipelago" (Latin insula, meaning island).

 originally archipelago

In the 1920's, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), known as Dr. Setiabudi (grandson of the brother Multatuli), introduces a name for our country that do not involve the word "India". The name was no other is the archipelago, a term that has been submerged for centuries. Setiabudi took it's name from Pararaton, Majapahit era manuscripts found in Bali at the end of the 19th century and translated by JLA Brandes and published by Johannes Nicholaas Krom in 1920.


 Understanding Nusantara proposed Setiabudi archipelago much different understanding of the Majapahit era. At the time of Majapahit, used to refer to the archipelago islands outside Java (in Sanskrit means the outside, opposite) as opposed Yavadvipa (Java). Palapa Oath of Gajah Mada says "Seagrass huwus lost archipelago, iSun amukti palapa" (If it has been lost across the islands, then I am enjoying the break).

By Dr. Setiabudi archipelago word that connotes the Majapahit era of ignorance is given a nationalistic sense. By taking the original Malay words, the archipelago now has a new meaning of "homeland between two continents and two oceans", so Java was included in the definition of a modern archipelago. The term archipelago of Setiabudi is quickly becoming popular as an alternative use of the name of the Dutch East Indies. To this day the term continues to be used nationwide to mention the homeland from Sabang to Merauke.


 Name Origins Indonesia

In 1847 in Singapore published an annual scholarly journal, the Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), which is managed by James Richardson Logan (1819-1869), a Scot who earned a law degree from the University of Edinburgh. Then in 1849 an ethnologist of the British, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), joined as editor of the magazine JIAEA.

In Volume IV JIAEA 1850, pages 66-74, Earl wrote an article On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Earl in the article confirms that it is time for the people of Indian or Malay Archipelago Islands to have a unique name (a distinctive name), it is not appropriate for Indian name and is often confused with another mention of India. Earl filed two options name: Indunesia or Malayunesia (nesos in Greek means island). On page 71 the article reads:

 … the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians”.
 Earl has said choosing the name Malayunesia (Malay Archipelago) than Indunesia (Indian archipelago), because Malayunesia very appropriate for the Malay race, while Indunesia can also be used to Ceylon (Sri Lanka) and the Maldives (Maldives). Earl found also that used throughout the Malay archipelago. In writing that Earl does not use the term and use the term Malayunesia Indunesia.

In Volume IV JIAEA also, pages 252-347, James Richardson Logan write an article The Ethnology of the Indian Archipelago. In early writings, Logan also expressed the need for unique name for the islands of our country, because the term "Indian Archipelago" is too long and confusing. Logan picked up the name Indunesia the Earl dumped and replaced with the letter u letter o that his words better. Thus was born the term Indonesia

 
“Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago”.
 When proposing the name "Indonesia" Logan does not seem to realize that in the future it will be the name of the official name. Since then Logan has consistently used the name "Indonesia" in scientific writings, and the use of the term is gradually spreading among scientists fields of ethnology and geography.

In 1884 a professor of ethnology at the University of Berlin named Adolf Bastian (1826-1905) published a book Rodel oder die Inseln Archipel des Malayischen five volumes, containing the results of his research when it wandered into the country in 1864 until 1880.


 Buku Bastian Inilah Yang memopulerkan istilah "Indonesia" di Kalangan sarjana Belanda, sehingga Sempat Timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" ITU ciptaan Bastian. Pendapat Yang tidak BENAR ITU, ANTARA Lain tercantum Illustrasi Encyclopedie van Nederlandsch-Indie years 1918. Padahal Bastian mengambil istilah "Indonesia" ITU bahasa Dari tulisan-tulisan Logan.

Pribumi Yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang Ke Negeri Belanda years 1.913 beliau mendirikan sebuah biro pers Artikel Baru NAMA Indonesische Pers-bureau. Nama di Indonesisch (Indonesia) JUGA diperkenalkan sebagai pengganti indisch (Hindia) oleh Prof Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan Artikel Baru ITU, inlander (pribumi) diganti Artikel Baru Indonesier (orangutan Indonesia). (tam)...

                                                                                                                     Posted by arrumtamsQ at 00:27

Tuesday, January 22, 2013

Tugu Pahlawan Surabaya

Tugu pahlawan berbentuk paku terbalik, yaitu diameter bawah tugu lebih besar dari diameter atas. Tugu ini memiliki tinggi 41,15 meter atau 45 yard dan diameter 3,1 meter, yang semakin ke atas, diameter semakin kecil. Selain tugu pahlawan, di area ini terdapat patung dan bangunan lain yang menggambarkan perjuangan bangsa Indonesia, khususnya untuk mengenang pertempuran di Surabaya pada tanggal 10 Nopember 1945.
Pada salah satu sisi, terdapat patung mantan presiden Ir. Soekarno dan wakilnya Drs. Mohammad Hatta ketika sedang membaca proklamasi kemerdekaan diantara pilar-pilar tinggi yang menyerupai reruntuhan suatu bangunan. Pada pilar-pilar juga terdapat tulisan-tulisan pembangkit semangat kemerdekaan yang menyerupai coretan-coretan
 Tugu Pahlawan terletak di pusat kota Surabaya, tepatnya ditengah-tengah diantara Jl.Pahlawan, Jl. Bubutan, Jl. Tembaan, dan Jl. Kebon Rojo. Tepatnya di depan kantor Gubernur Jawa Timur. Letaknya yang mudah dicapai menjadi alasan tempat ini sering dikunjungi. Aneka tumbuhan dan bunga-bunga yang ada di kawasan ini menjadi daya tarik bagi masyarakat Surabaya yang ingin sejenak beristirahat atau menghabiskan suasana pagi dan sore hari dengan sekadar duduk-duduk sambil melihat bangunan-bangunan yang mengingatkan perjuangan masyarakat Surabaya.

Monday, January 21, 2013





                

Sejarah berdirinya monas

Monumen Nasional

Koordinat: [Tunjukkan letak di peta interaktif] 6°10′31″S 106°49′37″E / 6.17528°S 106.82694°E / -6.17528; 106.82694 Monumen Nasional atau yang populer disingkat dengan Monas atau Tugu Monas adalah salah satu dari monumen peringatan yang didirikan untuk mengenang perlawanan dan perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah Belanda.

Tugu Peringatan Nasional dibangun di areal seluas 80 hektar. Tugu ini diarsiteki oleh Soedarsono dan Frederich Silaban, dengan konsultan Ir. Rooseno, mulai dibangun Agustus 1959, dan diresmikan 17 Agustus 1961 oleh Presiden RI Soekarno. Monas resmi dibuka untuk umum pada tanggal 12 Juli 1975.

Pembagunan tugu Monas bertujuan mengenang dan melestarikan perjuangan bangsa Indonesia pada masa revolusi kemerdekaan 1945, agar terbangkitnya inspirasi dan semangat patriotisme generasi saat ini dan mendatang.

Tugu Monas yang menjulang tinggi dan melambangkan lingga (alu atau anatan) yang penuh dimensi khas budaya bangsa Indonesia. Semua pelataran cawan melambangkan Yoni (lumbung). Alu dan lumbung merupakan alat rumah tangga yang terdapat hampir di setiap rumah penduduk pribumi Indonesia.

Lapangan Monas mengalami lima kali penggantian nama yaitu Lapangan Gambir, Lapangan Ikada, Lapangan Merdeka, Lapangan Monas, dan Taman Monas. Di sekeliling tugu terdapat taman, dua buah kolam dan beberapa lapangan terbuka tempat berolahraga. Pada hari-hari libur

Bentuk Tugu peringatan yang satu ini sangat unik. Sebuah batu obeliks yang terbuat dari marmer yang berbentuk lingga yoni simbol kesuburan ini tingginya 132 m.
Di puncak Monumen Nasional terdapat cawan yang menopang berbentuk nyala obor perunggu yang beratnya mencapai 14,5 ton dan dilapisi emas 35kg. Lidah api atau obor ini sebagai simbol perjuangan rakyat Indonesia yang ingin meraih kemerdekaan.

Pelataran puncak dengan luas 11x11 dapat menampung sebanyak 50 pengunjung. Pada sekeliling badan elevator terdapat tangga darurat yang terbuat dari besi. Dari pelataran puncak tugu Monas, pengunjung dapat menikmati pemandangan seluruh penjuru kota Jakarta. Arah ke selatan berdiri dengan kokoh dari kejauhan Gunung Salak di wilayah kabupaten Bogor, Jawa Barat, arah utara membentang laut lepas dengan pulau-pulau kecil berserakan. Bila menoleh ke Barat membentang Bandara Soekarno-Hatta yang setiap waktu terlihat pesawat lepas landas.

Dari pelataran puncak, 17 m lagi ke atas, terdapat lidah api, terbuat dari perunggu seberat 14,5 ton dan berdiameter 6 m, terdiri dari 77 bagian yang disatukan.
Pelataran puncak tugu berupa "Api Nan Tak Kunjung Padam" yang berarti melambangkan Bangsa Indonesia agar dalam berjuang tidak pernah surut sepanjang masa. Tinggi pelataran cawan dari dasar 17 m dan ruang museum sejarah 8 m. Luas pelataran yang berbentuk bujur sangkar, berukuran 45x45 m, merupakan pelestarian angka keramat Proklamasi Kemerdekaan RI (17-8-1945).

Pengunjung kawasan Monas, yang akan menaiki pelataran tugu puncak Monas atau museum, dapat melalui pintu masuk di seputar plaza taman Medan Merdeka, di bagian utara Taman Monas. Di dekatnya terdapat kolam air mancur dan patung Pangeran Diponegoro yang sedang menunggang kuda, terbuat dari perunggu seberat 8 ton.

Patung itu dibuat oleh pemahat Italia, Prof. Coberlato sebagai sumbangan oleh Konsulat Jendral Honores, Dr Mario di Indonesia. Melalui terowongan yang berada 3 m di bawah taman dan jalan silang Monas inilah, pintu masuk pengunjung ke tugu puncak Monas yang berpagar "Bambu Kuning".Landasan dasar Monas setinggi 3 m, di bawahnya terdapat ruang museum sejarah perjuangan nasional dengan ukuran luas 80x80 m, dapat menampung pengunjung sekitar 500 orang.

Pada keempat sisi ruangan terdapat 12 jendela peragaan yang mengabdikan peristiwa sejak zaman kehidupan nenek moyang bangsa Indonesia. Keseluruhan dinding, tiang dan lantai berlapis marmer. Selain itu, ruang kemerdekaan berbentuk amphitheater yang terletak di dalam cawan tugu Monas, menggambarkan atribut peta kepulauan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Kemerdekaan RI, bendera merah putih dan lambang negara dan pintu gapura yang bertulis naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

Di dalam bangunan Monumen Nasional ini juga terdapat museum dan aula untuk bermeditasi. Para pengunjung dapat naik hingga ke atas dengan menggunakan elevator. Dari atau Monumen Nasional dapat dilihat kota Jakarta dari puncak monumen. Monumen dan museum ini dibuka setiap hari, mulai pukul 09.00 - 16.00 WIB.

Bentuk Tugu peringatan yang satu ini sangat unik. Sebuah batu obeliks yang terbuat dari marmer yang berbentuk lingga yoni simbol kesuburan ini tingginya 132 m.
Di puncak Monumen Nasional terdapat cawan yang menopang berbentuk nyala obor perunggu yang beratnya mencapai 14,5 ton dan dilapisi emas 35kg. Lidah api atau obor ini sebagai simbol perjuangan rakyat Indonesia yang ingin meraih kemerdekaan.

Pelataran puncak dengan luas 11x11 dapat menampung sebanyak 50 pengunjung. Pada sekeliling badan elevator terdapat tangga darurat yang terbuat dari besi. Dari pelataran puncak tugu Monas, pengunjung dapat menikmati pemandangan seluruh penjuru kota Jakarta. Arah ke selatan berdiri dengan kokoh dari kejauhan Gunung Salak di wilayah kabupaten Bogor, Jawa Barat, arah utara membentang laut lepas dengan pulau-pulau kecil berserakan. Bila menoleh ke Barat membentang Bandara Soekarno-Hatta yang setiap waktu terlihat pesawat lepas landas.
Dari pelataran puncak, 17 m lagi ke atas, terdapat lidah api, terbuat dari perunggu seberat 14,5 ton dan berdiameter 6 m, terdiri dari 77 bagian yang disatukan.

Pelataran puncak tugu berupa "Api Nan Tak Kunjung Padam" yang berarti melambangkan Bangsa Indonesia agar dalam berjuang tidak pernah surut sepanjang masa. Tinggi pelataran cawan dari dasar 17 m dan ruang museum sejarah 8 m. Luas pelataran yang berbentuk bujur sangkar, berukuran 45x45 m, merupakan pelestarian angka keramat Proklamasi Kemerdekaan RI (17-8-1945).

Pengunjung kawasan Monas, yang akan menaiki pelataran tugu puncak Monas atau museum, dapat melalui pintu masuk di seputar plaza taman Medan Merdeka, di bagian utara Taman Monas. Di dekatnya terdapat kolam air mancur dan patung Pangeran Diponegoro yang sedang menunggang kuda, terbuat dari perunggu seberat 8 ton.

Patung itu dibuat oleh pemahat Italia, Prof. Coberlato sebagai sumbangan oleh Konsulat Jendral Honores, Dr Mario di Indonesia. Melalui terowongan yang berada 3 m di bawah taman dan jalan silang Monas inilah, pintu masuk pengunjung ke tugu puncak Monas yang berpagar "Bambu Kuning".

Landasan dasar Monas setinggi 3 m, di bawahnya terdapat ruang museum sejarah perjuangan nasional dengan ukuran luas 80x80 m, dapat menampung pengunjung sekitar 500 orang.

Pada keempat sisi ruangan terdapat 12 jendela peragaan yang mengabdikan peristiwa sejak zaman kehidupan nenek moyang bangsa Indonesia. Keseluruhan dinding, tiang dan lantai berlapis marmer. Selain itu, ruang kemerdekaan berbentuk amphitheater yang terletak di dalam cawan tugu Monas, menggambarkan atribut peta kepulauan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Kemerdekaan RI, bendera merah putih dan lambang negara dan pintu gapura yang bertulis naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

Sejarah Berdirinya Stadion Gelora Bung Karno (GBK)
Bermula dari Asean Games III Tahun 1958 di Tokyo dimana oleh Asian Games Federation, Indonesia ditunjuk untuk menjadi penyelenggara Asian Games ke IV tahun 1962. Maka pada saat itu Presiden R.I. Pertama Ir. Soekarno segera menjawab tantangan dengan menentukan lokasi yang tepat untuk perhelatan akbar tersebut, dengan membangun Sarana dan Prasarana Olahraga.

Melihat letak geografis dan pengembangan kota Jakarta di kemudian hari, maka pilihan jatuh ke arah selatan yaitu daerah Senayan, yang merupakan batas antara Jakarta Kota dan Satelit Kebayoran Baru.

Upacara pembukaan Asian Games ke IV tahun 1962 dilaksanakan di Stadion Utama Gelora Bung Karno yang dihadiri oleh lebih dari 110 orang. Pada Pidatonya Presiden R.I. Pertama Ir. Soekarno (Bung Karno) mengatakan bahwa peristiwa ini merupakan tonggak sejarah bagi bangsa indonesia khususnya dibidang olahraga yang merupakan bagian dari Nation and Character Building, maupun dalam rangka pergaulan dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Setahun kemudian dilaksanakan GANEFO (Games of The New Emergencing Forces) ke 1 tahun 1963. Dengan selesainya pembangunan Gelanggang Olahraga Bung Karno pada saat itu membuktikan bahwa bangsa Indonesia mampu melaksanakan pembangunan sebuah komplek olahraga bertaraf international yang pada masa itu belum banyak dimiliki oleh Negara maju sekalipun. Seiring dengan perkembangan jaman maka dikomplek Gelora Bung Karno dilaksanakan berbagai pembangunan fasilitas olahraga maupun fasilitas pendukung lainnya.
Stadion Gelora Bung Karno merupakan komplek olahraga. Di area Gelora Bung Karno terdapat beberapa fasilitas, antara lain:

* Stadion Sepak Bola Gelora Bung Karno yang merupakan tempat pertandingan sepak bola.
* Stadion Istora Gelora Bung Karno yang diperuntukkan untuk umum.
* Stadion Senayan merupakan stadion diperuntukkan bagi cabang olahraga atletik.
* Stadion Indoor Tennis Stadium diperuntukkan untuk cabang olahraga tenis atau basket.
* Stadion renang senayan yang diperuntukkan untuk cabang olah raga renang.
* Lapangan Golf atau Driving Range Senayan diperuntukkan bagi cabang olah raga golf. 
                                                                o      Sumber: http://www.gudangmateri.com/2010/12/sejarah-stadium-gelora-bung-karn.html



Jepang menyatakan menyerah tanpa syarat kepada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945. Berita tentang kekalahan Jepang ini masih dirahasiakan oleh Jepang. Namun demikian para pemimpin pergeraakan dan pemuda Indonesia lewat siaran luar negeri telah mengetahui pada tanggal 15 Agustus 1945. Untuk itu para pemuda segera menemui Bung Karno dan Bung Hatta di Pegangsaan Timur No.56 Jakarta dan meminta agar mau memproklamasikan kemerdekaan Indonesia lepas dari pengaruh Jepang. Bung Karno dan Bung Hatta tidak menyetujui dengan alasan bahwa proklamasi perlu dibicarakan dalam rapat PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Sehingga pada malam hari tanggal 15 Agustus 1945 mengadakan rapat di ruang Laboratorium Mikrobiologi di Pegangsaan Timur yang dihadiri oleh Soekarni, Yusuf Kunto, Syodanco Singgih, dan Chaerul Saleh sebagai pemimpinnya. Hasil rapat disampaikan oleh Darwis dan Wikana yaitu mendesak agar Soekarno-Hatta memutuskan ikatan dengan Jepang. Muncul suasana tegang sebab Soekarno-Hatta tidak menyetujuinya. Namun golongan muda tetap mendesak agar tanggal 16 Agustus 1945 diproklamasikan kemerdekaan. Prinsip golongan tua menekankan masih perlunya diadakan rapat PPKI.
 Kemudian dini hari tanggal 16 Agustus 1945, golongan muda mengadakan rapat di Asrama Baperpi, Jalan Cikini 71 Jakarta dengan keputusan untuk membawa Bung Karno dan Bung Hatta keluar kota agar tidak terkena pengaruh Jepang. Pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945, Soekarno-Hatta diculik oleh Soekarni, Yusuf Kunto, dan Syodanco Singgih ke Rangasdengklok. Pada sore harinya, Ahmad Soebarjo memberi jaminan bahwa selambat-lambantnya esok hari tanggal 17 Agustus 1945 Soekarno-Hatta akan memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia, maka Cudanco Subeno (komandan kompi tentara PETA di Rengasdengklok) memperbolehkan Soekarno-Hatta kembali ke Jakarta.
                                                                                                                                                                         •  Design by Jenny Sibarani